-->
Group description=

Font Colour

COLOUR CHANGER

default=

Jumat, 16 Desember 2011

Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti, Why Not ? (Upaya Unified Legal Frame Work dan Unified Legal Opinion)

;
 Merupakan suatu asas bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka harus membuktikannya.[1] Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.

Kewajiban para pihak berperkara dalam pembuktian adalah meyakinkan mejelis hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau dalam pengertian yang lain yaitu kemampuan para pihak memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum yang diperkarakan.


Dalam hukum acara perdata salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan telah benar-benar ada atau tidak, adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila para pihak menginginkan kemenangan dalam suatu perkara, apabila para pihak tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang mendasar gugatan maka gugatannya akan dikalahkan dan apabila mampu membuktikan gugatan maka gugatannya akan dimenangkan.

Didalam hukum acara perdata telah dikenal ada 5 (lima) macam alat bukti, yaitu alat bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan alat bukti sumpah.[2] Saksi sebagai salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata mempunyai jangkauan yang sangat luas hampir meliputi segala bidang dan segala macam sengketa perdata kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Saksi yang telah memenuhi syarat formil dan materiil berarti ia mempunyai kekuatan nilai pembuktian bebas (vrijbewijs kracht). Artinya hakim bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya, hakim tidak terikat dengan keterangan saksi karena hakim dapat saja menyingkirkan keterangan saksi asal dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat dan bahkan hakim dapat pula menerima keterangan saksi meskipun itu berkualitas testimonium de auditu asal ada dasar eksepsional untuk menerimanya.

Diskursus mengenai testimonium de auditu sampai sekarang masih terjadi dikalangan akademik dan kalangan praktisi antara menerima dan menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti sehingga berakibat tidak ada standar hukum (law standart) dan upaya unified legal frame work dan unified legal opinion. Oleh karena itulah lebih lanjut penulis akan mencoba untuk membahasnya dalam tulisan berikut ini, dengan sebuah pemikiran bahwa kebenaran dan keadilan itu tidak identik dengan rumusan peraturan perundang-undangan.

SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PERDATA


Salah satu tahapan dalam proses litigasi adalah upaya pembuktian. Hukum pembuktian dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks bahkan menjadi rumit oleh karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth)[3], meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata bukan kebenaran yang bersifat absolut tetapi kebenaran yang bersifat relatif .

Sistem pembuktian dalam hukum acara perdata tidak sama sebagaimana yang dianut dalam sistem pembuktian dalam hukum acara pidana yang dalam proses pemeriksaannya menuntut pencarian kebenaran selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian juga harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran telah terbuktinya kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt), kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran yang hakiki (materiele waarheid).[4] Sedangkan dalam proses peradilan perdata kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim hanya kebenaran formil (formeel waarheid), tidak dituntut adanya keyakinan hakim. Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil penggugat meskipun mengandung kebohongan dan palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan.[5]

Tugas dan peran hakim untuk mencari kebenaran formil adalah bersifat pasif namun bukan pasif total dalam arti tidak hanya dimaknai hakim terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan para pihak semata, tetapi juga tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan dengan tetap berpegang pada ketentuan bahwa hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan, menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim serta pemeriksaan dan putusan hakim terbatas pada tuntutan yang diajukan para pihak.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul aliran aktif argumentatif yang menentang ajaran peran dan kedudukan hakim bersifat pasif, dengan argumentasi bahwa hakim tidak boleh dijadikan mahluk tak berjiwa (antre anemimes)[6] tidak mempunyai hati nurani dan kesadaran moral, karena tidak layak dan tidak pantas hakim membiarkan para pihak berlaku sewenang-wenang menyodorkan dan menyampaikan kebenaran yang berisi kebohongan dan kepalsuan.

Argumentasi kedua, tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice)[7]. Sehingga untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan maka fungsi dan peran hakim harus aktif mencari dan menilai kebenaran yang diajukan para pihak dengan menyingkirkan fakta atau bukti yang berisi kebohongan dan kepalsuan serta menolak alat bukti yang mengandung fakta abstrak sebagai dasar penilaian dalam mengambil putusan.

Oleh karena itulah dalam proses peradilan perdata hakim tidak dilarang mencari dan menemukan kebenaran materiil karena tujuan pembuktian adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu sehingga hakim dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir serta mengambil keputusan berdasarkan pada pembuktian tersebut, sehingga kebenaran formil dan kebenaran materiil hendaknya harus dicari dan diwujudkan secara bersaamaan dalam pemeriksaan suatu perkara,[8] akan tetapi apabila kebenaran materiil itu tidak ditemukan, tentunya harus kembali mengambil keputusan berdasarkan kebenaran formil.[9]

KONSEP TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM HUKUM PERDATA
Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau surat. Dalam kenyataannya karena tidak adanya alat bukti tulisan atau ada alat bukti tulisan akan tetapi tidak mencukupi batas minimal pembuktian hanya sebagai bukti permulaan maka pembuktian dengan saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar peristiwa yang disengeketan menjadi sebuah alternatif.

Alat bukti saksi mempunyai jangkauan yang sangat luas sekali hampir meliputi segala bidang dan segala macam sengketa perdata, hanya dalam hal yang sangat terbatas sekali keterangan saksi tidak diperbolehkan, seperti melarang pembuktian saksi terhadap isi suatu akta otentik, rasio pelarangan adalah karena pada umumnya keterangan saksi cenderung kurang dapat dipercaya, sering berbohong, sehingga bisa terjadi pertentangan antara keterangan saksi dengan isi suatu akta dan jika dibiarkan maka nilai kekuatan pembuktian akta otentik bisa kehilangan tempat berpijak yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap akta otentik.

Banyak penulis yang menggambarkan bahwa alat bukti keterangan saksi cenderung tidak dapat dipercaya, dengan argumentasi bahwa saksi cenderung berbohong baik sengaja atau tidak, saksi mendramatisir, menambah atau mengurangi dari kejadian yang sebenarnya dan ingatan manusia atas suatu peristiwa tidak selamanya akurat sering dipengaruhi oleh emosi.[10]

Ada persyaratan yang harus dipenuhi terhadap alat bukti saksi yang meliputi persyaratan formil dan materiil yang bersifat kumulatif dan bukan alternatif. Artinya bila suatu kesaksian tidak memenuhi seluruh syarat yang dimaksud maka kesaksian itu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Adapun syarat formil itu adalah :
saksi adalah orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk menjadi saksi.[11]
saksi memberikan keterangan di persidangan.[12]
saksi mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan.[13]
ada penegasan dari saksi bahwa ia menggunakan haknya sebagai saksi, jika undang-undang memberikannya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi.[14]
saksi diperiksa seorang demi seorang.[15]

Sedangkan syarat materiil saksi adalah :
keterangan saksi berdasarkan alasan dan pengetahuan, maksudnya keterangan saksi harus berdasarkan alasan-alasan yang mendukung pengetahuan saksi atas peristiwa/fakta yang diterangkannya.[16]
fakta yang diterangkan bersumber dari penglihatan, pendengaran dan pengalaman saksi itu mempunyai relevansi dengan perkara yang disengketakan.[17]
keterangan saksi saling bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain.[18]

Tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh dinilai dan dimasukkan sebagai alat bukti saksi yaitu pendapat pribadi saksi, dugaan saksi, kesimpulan pendapat saksi, perasaan pribadi saksi dan kesan pribadi saksi.[19]

Memperhatikan syarat materiil alat bukti saksi tersebut maka keterangan yang diberikan harus bersumber dari pengalaman, penglihatan atau pendengaran dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketan para pihak. Sedangkan keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya adalah berkualitas sebagai testimonium de audito yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami.[20] Ada juga yang mendefinisikan kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain.[21] Atau Subekti menamakannya dengan ”kesaksian dari pendengaran”.[22]

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa testimonium de audito berada diluar kategori keterangan saksi yang ditentukan Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUH Perdata oleh karena sumber kesaksian diperoleh secara tidak langsung atau berasal dari orang lain. Pertanyaan yang muncul adalah apakah testimonium de audito tetap tidak bernilai dan harus selalu ditolak sebagai alat bukti dalam hukum perdata ? atau testimonium de audito tetap benilai dan dapat diterapkan sebagai alat bukti ? kalau dapat bagiamana teknis penerapannya ?, sehingga ada standar hukum (law standart) yang baku untuk menyatukan rujukan hukum dan pendapat hukum.


TESTIMONIUM DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI
Pembahasan mengenai penerapan testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam perkara perdata telah terjadi perdebatan di kalangan akademisi maupun kalangan praktisi antara kelompok yang menolak dan yang memperbolehkannya.

Arus utama adalah mereka yang menolak atau tidak menerima kesaksian de auditu sebagai alat bukti, merupakan aturan umum yang masih kuat dianut para praktisi sampai sekarang.[23] Saksi yang tidak mendasarkan keterangannya dari sumber pengetahuan sebagaimana yang digariskan Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata tidak diterima (inadmissable) sebagai alat bukti.[24] Menurut Sudikno pada umumnya kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri sehingga saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan.[25] Begitu pula Subekti – pada mulanya – berpendapat yang sama bahwa saksi de auditu sebagai keterangan yang didasarkan pada pandangan dari orang lain tentang sesuatu tidak ada harganya sama sekali.[26]

Menurut Yahya Harahap pada umumnya sikap para praktisi hukum yang secara otomatis menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti tanpa adanya analisis dan pertimbangan yang argumentatif, [27] dengan mengambil contoh Putusan Mahkamah Agung No. 881 K/Pdt/1983 tanggal 18 Agustus 1984 yang menegaskan saksi-saksi yang diajukan penggugat semuanya terdiri dari de auditu sehingga keterangan yang mereka berikan tidak sah sebagai alat bukti, Putusan Mahkamah Agung No. 4057 K/Pdt/1986 tanggal 30 April 1988 pada putusan inipun langsung ditolak dengan alasan para saksi terdiri dari saksi de auditu oleh karena itu tidak memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang sebagai alat bukti, dan Putusan Mahkamah Agung No. 1842 K/Pdt/1984 tanggal 17 Oktober 1985 karena ketiga orang saksi yang diajukan penggugat adalah de auditu sehingga tidak memenuhi syarat sebagai saksi yang memiliki nilai kekuatan pembuktian.

Sementara itu disisi lain dari kelompok arus utama tersebut, ada yang berpendapat membolehkan dengan membenarkan penerapan testimonium de auditu sebagai alat bukti. Subekti yang semula berpendapat testimonium de auditu tidak ada harganya sama sekali, namun kemudian berpendapat membenarkan penerapan keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti apabila mereka terdiri dari beberapa orang dan keterangan yang disampaikan langsung mereka dengar dari tergugat atau penggugat untuk melengkapi keterangan saksi lain yang memenuhi syarat formil dan meteriil kesaksian sehingga memenuhi batas minimal pembuktian, atau keterangan saksi de auditu dipergunakan untuk menyusun persangkaan. Karena sebagai kesaksian keterangan saksi de auditu memang tidak ada nilainya akan tetapi bukan berarti hakim lantas dilarang untuk menerimanya. Yang dilarang adalah jika saksi menarik kesimpulan-kesimpulan, memberikan pendapat atau perkiraan-perkiraan.[28]

Lebih lanjut kalau kita menelusuri yurisprudensi Peradilan Indonesia sesungguhnya dikalangan para praktisi sudah ada penerimaan testimonium de auditu sebagai alat bukti dengan beragam bentuk penerapannya.

Pertama testimonium de auditu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang. Dalam putusan itu Mahkamah Agung membenarkan testimonium de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materiil. Hal ini terdapat dalam putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku dan benar. Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu diterima berikut orang yang memberi keterangan harus orang yang menerima langsung pesan. Ternyata masalah tersebut telah sepenuhnya telah terpenuhi dimana orang yang menerangkan pesan didalam majelis persidangan pengadilan adalah orang yang langsung menerima pesan.

Kedua testimonium de auditu tidak digunakan sebagai alat bukti langsung tetapi kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden) dengan pertimbangan yang obyetif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Sebagaimana terlihat pada putusan Mahkamah Agung No. 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959. Sesungguhnya putusan ini tetap berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat bukti, namun untuk menghindari larangan tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai alat bukti saksi tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan (vermoeden).

Ketiga, membenarkan testimonium de audito sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi. Demikian putusan Mahkamah Agung No. 818 K/Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984. Dalam putusan tersebut menyebutnya testimonium de audito sebagai keterangan yang dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan saksi biasa. Dalam kasus ini saksi yang langsung ikut dalam transaksi jual beli hanya saksi pertama, sedangkan saksi kedua dan ketiga hanya berkualitas sebagai de audito, akan tetapi meskipun demikian ternyata dalam persidangan keterangan yang mereka sampaikan merupakan hasil pengetahuan yang langsung bersumber dari tergugat sendiri. Berdasarkan fakta tersebut Mahkamah Agung berpendapat keterangan mereka itu dapat dijadikan sebagai alat bukti yang menguatkan keterangan seorang saksi.

Terlepas dari diskursus di kalangan para akademisi dan para praktisi mengenai eksistensi testimonium de audito dalam ranah hukum perdata, satu hal yang harus diperhatikan bahwasanya tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice), sedangkan hakim dalam proses peradilan tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan dan hakim tidak berperan sekedar seperti mahluk tak berjiwa (antre anemimes).

Oleh karenanya terhadap keterangan saksi de audito sesungguhnya tidak otomatis harus ditolak sebagai alat bukti, permasalahannya adalah bukan mengenai ditolak atau diterimanya testimonium de audito sebagai alat bukti.

Sikap yang tepat adalah diterima saja dulu, baru kemudian dipertimbangkan dengan menganalisis apakah ada dasar eksepsional untuk menerimanya, kalau ada baru dipertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi de audito tersebut.

Didalam khazanah Peradilan Islam telah dikenal dengan apa yang disebut syahadah al istifadhah ialah suatu kesaksian berdasarkan pengetahuan yang bersumber pada berita yang sudah demikian luas tersiar,[29] yang dalam hukum acara perdata disebut dengan testimonium de audito.

Mahkamah Agung telah menggagas penerapan kesaksian istifadhah dalam bidang perwakafan dengan mendefinisikannya sebagai suautu kesaksian dari orang yang tidak mengetahui sendiri, mengalami sendiri atau mendengar sendiri proses terjadinya wakaf suatu benda, tetapi orang itu dan orang-orang lain yang banyak jumlahnya hanya tahu bahwa barang itu sudah sejak lama digunakan untuk kepentingan umum yang bersifat keagamaan/ibadah, sedangkan orang banyak menganggap benda itu adalah benda wakaf.[30]

Adapun penerapan kesaksian istifadhah dalam sengketa wakaf di lingkungan Peradilan Agama bukan hanya bernilai sebagai bukti yang dikonstruksi sebagai persangkaan (vermoeden), atau sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi, akan tetapi jauh lebih tinggi dari itu yaitu bernilai sebagai alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil kesaksian. Dan landasan penerapan kesaksian istifadhah dalam sengketa wakaf adalah Buku II Mahkamah Agung RI dan tidak tertuang dalam formalitas perundang-undangan acara perdata.[31]

Lalu bagaimana gagasan Mahkamah Agung terhadap eksistensi testimonium de audito yang nota bene adalah sama dengan syahadah al istifadhah kedalam praktek perkara perdata secara umum ?

UNIFIED LEGAL FRAME WORK DAN UNIFIED LEGAL OPINION

Dari putusan-putusan Mahkamah Agung yang menjadi yurisprudensi tersebut tampaknya terdapat perbedaan (disparitas) antara yang satu dengan lain dalam penerapan testimonium de audito sebagai alat bukti, akhirnya tidak ada standar hukum (law standart) yang dapat dipedomani tentang penerapannya. Sehingga keadaan eksepsional yang bagaimanakah testimonium de audito dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain, atau dapat dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), atau dapat pula sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi ?.

Sebenarnya upaya untuk menuju ke arah terciptanya standar hukum (law standart) yang baku untuk mewujudkan penyatuan rujukan hukum dan penyatuan putusan hakim (unified legal frame work) dan (unified legal opinion) dalam penerapan testimonium de audito sebagai alat bukti sudah mulai terkuak.

Mahkamah Agung dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang telah menjadi buku ”wajib” untuk rechtelijke ambtenaar[32] ketika membahas masalah pembuktian dengan merujuk pada buku ”Hukum Pembuktian” karya Prof. R. Subekti, S.H.[33]

Dengan mengambil alih pendapat Subekti mengenai pembuktian ke dalam Buku II Mahkamah Agung RI tersebut sehingga secara eksplisit telah memberikan dasar pijakan penerimaan keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti dengan teknis penerapan sebagai berikut.

Pertama, keterangan saksi de auditu tidak digunakan sebagai alat bukti langsung tetapi kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden) dengan pertimbangan yang obyetif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.

Kedua, keterangan saksi de auditu yang terdiri dari beberapa orang dan keterangan yang disampaikan langsung mereka dengar dari tergugat atau penggugat sendiri, maka keteranga saksi de auditu tersebut untuk melengkapi keterangan seorang saksi lain yang memenuhi syarat formil dan meteriil kesaksian sehingga memenuhi batas minimal pembuktian (unus testis nullus testis).

Disamping 2 (dua) model penerapan sebagaimana pendapat Subekti pada Buku II Mahkamah Agung tersebut, apabila ada alasan eksepsional lain seperti saksi yang mengalami, melihat dan mendengar sendiri sudah meninggal dunia namun sebelum meninggal dunia menjelaskan segala sesuatu peristiwa pada seseorang atau peristiwa tersebut telah menjadi semacam pesan turun temurun masyarakat dan peristiwa yang disengketakan tersebut tidak dapat terungkap tanpa adanya penjelasan dari seseorang yang mengetahuinya tersebut, maka dalam kasus yang demikian hakim dapat menerapkan keterangan saksi de audito sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang sehingga dijadikan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil dengan tetap memperhatikan kwalitas orang yang memberi dan menerima pesan tersebut. Sehingga penerapan testimonium de auditu sebagaimana pada Putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975 dapat menjadi sebuah alternatif lain.

Buku II Mahkamah Agung – meskipun bukan peraturan perundang-undangan acara perdata dan tidak perlu diperdebatkan keberadaannya - merupakan sebuah terobosan hukum dalam bidang acara perdata yang dilakukan Mahkamah Agung RI sebagai upaya menciptakan standar hukum (law standart) sehingga mewujudkan unified legal frame work dan unified legal opinion, karena kebenaran dan keadilan itu tidak identik dengan rumusan peraturan perundang-undangan. Kalau testimonium de auditu dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam pratek perkara perdata kenapa tidak (why not…… ???).


PENUTUP

Sebagai penutup dari paparan sebagaimana tersebut dimuka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Tugas dan peran hakim untuk mencari kebenaran formil adalah tidak cukup hanya bersifat pasif namun harus aktif argumentatif karena hakim bukan mahluk yang tak berjiwa (antre anemimes) yang tidak mempunyai hati nurani dan kesadaran moral, sedangkan tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice).
Testimonium de audito tidak harus otomatis untuk ditolak sehingga tidak ada nilainya sama sekali, karena dapat diterima sebagai alat bukti dengan menganalisis dasar eksepsional untuk dapat diterimanya dengan mempertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi de audito tersebut.
Testimonium de audito dapat diterapkan secara eksepsional dalam bentuk sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang, dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan (vermoeden), atau sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi.
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang telah menjadi buku wajib para hakim – merupakan terobosan hukum Mahkamah Agung RI – sebagai upaya menciptakan standar hukum (law standart) sehingga mewujudkan unified legal frame work dan unified legal opinion.

Acuan:
[1] Pasal 163 HIR

[2] Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata.

[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 496

[4] Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 9

[5] Ibid, hal. 107

[6] M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 1993/1994, hal. 63.

[7] M. Yahya Harahap, Ibid, hal. 63.

[8] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 228.

[9] M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal. 498 dan

[10] M. Yahya Harahap, 2005, hal.625

[11] Pasal 145 HIR, Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1909 KUH Perdata

[12] Pasal 144 HIR, Pasal 171 R.Bg dan Pasal 1905 KUH Perdata

[13] Pasal 147 HIR, Pasal 175 R.Bg dan Pasal 1911 KUH Perdata

[14] Pasal 146 HIR dan Pasal 171 (1) R.Bg.

[15] Pasal 144 (1) HIR, Pasal 171 (1) R.Bg

[16] Pasal 171 (1) HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907 KUH Perdata.

[17] Pasal 171 (1) HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907 KUH Perdata.

[18] Pasal 172 HIR, Pasal 309 R.Bg dan Pasal 1908 KUH Perdata

[19] Pasal 171 ayat (2) HIR, Pasal 308 ayat (2) R.Bg dan Pasal 1907 ayat (2) KUH Perdata.

[20] M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.661

[21] Mukti Arto, Praktek Perkara Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 164.

[22] Subekti, op cit, 1997, hal.45.

[23] M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.665.

[24] Teguh Samudra, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hal.63.

[25] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 131.

[26] Subekti, op cit, 1997, hal.42

[27] M. Yahya Harahap, op cit, 2005, hal.664.

[28] Subekti, op cit, 1997, hal.42.

[29] Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 390.

[30] Lebih lanjut baca buku, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Agama Buku II, Mahkamah Agung RI, Edisi Revisi, Jakarta, 1998, cet. ketiga, hal. 233-234.

[31] Abdul Manaf, op cit, hal. 395.

[32] Abdul Manaf, op cit, hal. 394.

[33] Mahkamah Agung RI, Buku II Edisi Revisi, hal. 129.
...IMAM SANTOS SALADIN AL GHAZI ZAT ZIT ZUT...

0 komentar:

description=